“Beta berfikir, pengorganisasian rakyat adalah seni. Seni yang memberi ruang untuk memahami realitas sosial yang sesungguhnya serta seni untuk belajar dan merefleksikan hidup dan kehidupan secara langsung dari rakyat. Seni untuk menenangkan jiwa dan mendapatkan kepuasan batin. Pengorganisasian rakyat juga dapat menciptakan seorang organizer untuk memahami lebih dalam lagi tentang konteks-konteks kemanusian (humanis)”.
Rangkaian kalimat tersebut dituliskan oleh Samson Atapary pada bagian akhir buku Yang Mengakar Yang Menjalar terbitan Insist Press. Buku ini berisi rangkaian perjalanan para Community Organizer (CO) yang telah melakukan pengorganisasian masyarakat di beberapa daerah di tanah air. Tujuh dari delapan CO ini adalah alumni dari sekolah Involvement (Indonesia NGO Volunteers for Social Movement) Insist Jogjakarta. Buku ini menyampaikan pesan kepada kita betapa pentingnya mendokumentasikan proses pengorganisasian, tidak sekedar membantu kita untuk keluar dari persoalan keterbatasan daya ingat kita, tapi juga mempermudah kita melakukan evaluasi terhadap keseluruhan proses pendampingan yang telah kita lakukan. Selain itu, dokumentasi ini akan menjadi jembatan komunikasi bagi mereka yang berada di lapangan (para CO) dengan mereka yang berada di kantor (tim manajemen).
Buku ini tidak hanya bercerita tentang kisah sukses yang telah diraih oleh para CO. Kegagalan dari proses pengorganisasian turut tergambar jelas di buku. Proses pendampingan masyarakat dari yang tidak tahu menjadi tahu, memang memberikan kebanggaan tersendiri bagi seorang CO. Hanya saja jika seorang CO tidak mampu mengorganize masyarakat dalam hal ini pada kader di tingkat masyarakat, maka akan bermunculan para kader yang memiliki kapasitas tetapi tidak terpimpin. Artinya, masyarakat yang selama ini tidak tahu, setelah mendapat pembekalan dari para CO merasa sudah setara kemampuannya dengan para CO. Tidak jarang beberapa diantara mereka tergilincir dari tujuan awal, orientasi mereka berubah. Pelibatan masyarakat secara aktif dalam berbagai proses pendampingan harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang konsep permberdayaan yang seutuhnya.
Kisah-kisah pengorganisasian yang dituliskan oleh para CO berlatar pada beragam dinamika kehidupan masyarakat. Solichul Hadi, membawa kita masuk pada dataran kehidupan masyarakat Air Hitam di Buntok, Kalimantan Tengah. Negeri yang kaya akan sumberdaya alam, adat-istiadat dan budayanya. Proses pendampingan masyarakat di wilayah ini telah melahirkan sebuah Perdes yang digagas sendiri oleh masyarakat. Sementara itu, Dony Hendro membawa kita kembali pada kenangan sejarah Ramiteks Berdarah yang terjadi pada tahun 1999 di Kota Magelang, di mana advokasi buruh menjadi fokus utamanya. Aksi besar yang melibatkan hampir sekitar 400 orang buruh pabrik yang menuntut perbaikan kesejahteraan kaum buruh membekas di ingatan kita, penculikan, teror sampai dengan kerusuhan berdarah menjadi bagian dari proses pendampingan yang dilakukan oleh para CO di wilayah ini.
Sedangkan Yandi Nurhayandi dan M. Nur Makkah membawa kita pada carut marut kehidupan kota metropolitan Jakarta, yang banyak menyimpan cerita kusam di tengah kehidupan masyarakatnya, pembangunan yang bersifat makro membuat masyarakat terpinggirkan. Alih-alih pembangunan memberikan perbaikan terhadap kondisi perekonomian, masyarakat bawah malah semakin termarginalkan. Marginalisasi yang dialami oleh masyarakat tidak hanya berdampak pada penggusuran tempat tinggal, tapi hak-hak sipil dan politik masyarakat turut terdiskriminasikasikan. Kehadiran para CO dari beragam LSM mencoba mendorong semangat perlawanan masyarakat untuk keluar dari kungkungan kemiskinan.
Pada akhir buku ini, Samson Atapary menuangkan sejarah pendampingan masyarakat Banjar pade yang terletak di desa adat tertua Teganan, Bali. Teganan menjadi kota yang paling ramai dikunjungi oleh turis lokal dan mancanegara karena ketradisionalan serta kekayaan adat istiadatnya. Analisis sosial yang dilakukan oleh Simon menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi masyarakat Teganan adalah semakin melemahnya aturan-aturan adat dan eksistensi dari lembaga-lembaga adat yang tidak memainkan fungsinya dengan baik untuk mengontrol sistem sosial, hukum, politik, dan tata ruang desa adat Teganan. Hal ini terjadi karena intervensi yang dilakukan oleh pihak pemerintah dan kepentingan kelompok tertentu. Reaksi pemisimis masyarakat selalu menjadi bagian dari proses pengorganisasian, akan tetapi dialog intens dan peningkatan kapasitas warga mampu meningkatkan kesadaran kritis masyarakat, sehingga isu-isu sentral masyarakat terpetakan.
Rangkaian catatan proses pendampingan masyarakat yang telah dilakukan oleh kedelapan orang penulis, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Tidak kaku, atau terikat dengan etika jurnalistik. Tulisan ini juga bisa dijadikan rujukan bagi para CO. Proses pendampingan masyarakat memang adalah sebuah seni, seni untuk memahami esensi kemanusian yang hakiki.
Buku ini tidak hanya mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mendokumentasikan seluruh proses pendampingan yang selama ini telah kita lakukan, tapi juga pendokumentasian seluruh proses perjalanan hidup kita. Dengan membaca kembali seluruh catatan perjalanan kita, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi titik kelemahan kita dan kemudian bisa mentukan langkah strategis untuk mengantisipasinya. Buku ini juga mengajarkan kita untuk sabar dan mengikuti keseluruhan proses secara perlahan, tidak ada proses pemberdayaan masyarakat yang terwujud dalam waktu yang singkat. Untuk itu sangat penting bagi kita para CO untuk menjaring kemitraan dengan berbagai pihak, terutama mereka yang memiliki tujuan yang sama yaitu kemandirian masyarakat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar