Sabtu, 06 September 2008

THE BURN JOURNALS "Mengapa Ingin Kuakhiri Hidupku"

Judul buku : The Burn Journals
Pengarang : Brent Runyon
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Kubawa jubah mandiku ke kamar mandi, lalu kutuangkan bensin sampai membasahinya. Kukenakan jubah itu menutupi bahuku, basah dan berat. Namun, baunya terasa menyenangkan, seperti sedang mengendarai mobil dalam suatu perjalanan jauh. Kupegang korek api di depanku, kunyalakan korek api itu...

Rangkaian kalimat di atas dituliskan Brent Runyon pada bagian awal bukunya yang berjudul The Burn Journals “Mengapa Ingin Kuakhiri Hidupku”. Buku yang menggambarkan usaha bunuh diri Brent dengan cara membakar tubuhnya, masa-masa dimana dia harus mengatasi trauma dan memutuskan untuk bangkit kembali. Buku tersebut diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2006.

Brent, seorang remaja yang duduk di sebuah sekolah menengah di kota Falls Chuch Virginia, telah melakukan usaha bunuh diri berkali-kali. Memasukkan kepala kedalam gantungan tali yang digantungkan di lemari pakaiannya, menyayat urat nadinya dengan pisau, meminum dua puluh tablet pil Advil (obat flu dan batuk) dan yang terakhir membakar tubuhnya dengan bensin. Brent, sebenarnya anak yang imajinatif dan kreatif, tetapi tidak nyaman dengan kecerdasan intelektualnya yang diatas rata-rata. Brent lebih memilih menjadi anak yang agresif dan cenderung melanggar aturan.

Mencuri bekal di loker anak peremuan, menyalakan korek api dan membakar salah satu loker anak laki-laki adalah bentuk kenakalan yang dilakukan oleh Brent. Meskipun banyak hal lain yang dilakukannya mampu menginspirasi teman dan gurunya. Brent yang lucu, yang antusias yang mengembangkan ide-ide liar selalu menarik untuk diperhatikan. Akan tetapi kenakalan Brent menimbulkan perasaan kecewa dihati orang tuanya, mereka mengharapkan Brent menjadi anak yang cerdas dan memiliki prestasi yang membanggakan seperti halnya di awal-awal dia masuk sekolah menengah.

Kasus kebakaran di ruang ganti siswa laki-laki memberi kesan mendalam bagi Brent, ancaman pihak sekolah yang akan mengeluarkan pelakunya telah meruntuhkan pertahanan diri Brent. Meskipun dia tidak mengakui secara langsung bahwa dia adalah pelaku kejadian itu, Brent telah kehilangan kepercayaan dirinya. Bayangan betapa kecewanya orangtuanya membuat Brent mengambil keputusan yang frontal untuk menghakhiri hidupnya. Dia mengemasi seluruh barang yang ada dilokernya, memberikan kartus As Skop (simbol aliran kepercayaan yang dikembangkannya) kepada sahabatnya Stephen, dan dengan santai menyatakan bahwa dia akan bunuh diri. Hal yang sama yang disampaikan Brent kepada Craig, kakak laki-lakinya sebelum dia membakar tubuhnya di kamar mandi di rumahnya.

Harapan Brent untuk mengakhiri hidupnya ternyata kembali gagal, karena Craig mendapati tubuh adiknya yang terbakar. Petugas kesehatan segera melarikan tubuhnya adiknya yang menghitam ke rumah sakit terdekat, berjarak beberapa blok dari kantor ayahnya. 85 % tubuh Brent terbakar, hingga tidak punya cukup banyak kulit bagus untuk menutupinya. Brent harus berbaring, tidak dapat menggerakkan tubuh, tidak dapat berbicara dan harus bernafas dengan ventilator selama beberapa bulan karena paru-parunya mengalami infeksi dan kebocoran. Pergulatan dengan rasa sakit menjadi rutinitas yang harus dilalui Brent selama berada di rumah sakit anak Washington, DC. Butuh sepuluh kali operasi untuk mengembalikan fungsi organ tubuhnya yang mengalami kerusakan. Dan selama kurun waktu tujuh bulan menjalani perawatan Brent selalu ditemani oleh kedua orangtuanya.

Banyak kisah menarik yang coba dituliskan Brent ketika dia menjalani perawatan di rumah sakit anak. Salah satunya tentang Maggie, anak yang mengalami kejadian yang sama pada hari yang sama dengan kejadian yang dialami Brent memberi kisah tersendiri. Setiap hari ibunya selalu membawa cerita tentang Maggie, hingga suatu malam orang-orang beteriak code blue di kamar Maggie. Tepat dimalam Brent bertemu dengan malaikat yang melayang-layang dilangit-langit kamarnya, malaikat yang akan menjemput orang yang bukan dirinya, dan keesokan harinya Maggie meninggal.

Dukungan dari berbagai pihak turut membantu proses pemulihan kondisi fisik dan mental Brent. Para sahabatnya disekolah selalu mengirimkan rekaman video kegiatan disekolah sehingga Brent merasa sedang berada di sana, begitu juga para perawat dan dokter di rumah sakit anak. Telepone dari Magic Jhonson, kartu ucapan dari Gedung Putih adalah rangkaian hadiah kejutan yang diterima oleh Brent. Tetapi yang paling istimewa adalah ungkapan kasih sayang yang disampaikan oleh kedua orangtuanya yang begitu tulus, bukan hal yang biasa seperti yang sebelumnya dia rasakan. Kasih sayang ini yang telah mengembalikan kepercayaan diri Brent dan memupuk kembali harapan untuk menjalani hidup dengan baik. Tidak ada lagi ketakutan tidak bisa membanggakan kedua orangtuanya, karena orangtuanya tetap mencintainya.

Dalam buku ini, Brent menggambarkan begitu jelas tentang situasi yang dialaminya, mulai dari situasi ketika dia mengalami pergolakan jiwa yang berakhir dengan keputusan untuk bunuh diri. Kemudian kita diajak untuk menyusuri unit luka bakar di rumah sakit anak, bagaimana dia mengalami transplantasi kulit yang begitu menyakitkan. Unit pemulihan untuk mengikuti beragam terapi yang dia ikuti, mulai dari terapi fisik, terapi gerak dan terapi psikologis yang itensif. Hingga akhirnya kita diajak pulang kerumah, untuk menyusuri rangkaian perjalanan yang telah dilalui sebelum tragedi yang telah mengubah hidupnya itu terjadi.

Brent begitu apik menceritakan kisah hidupnya, merangkainya menjadi untaian kalimat yang mampu membuat pembaca menjadi larut di dalamnya. Buku ini juga mampu membangkitkan ketersadaran pembaca bahwa hidup adalah sesuatu yang sangat berharga dan patut untuk disyukuri, seperti apapun keadaan kita.

Tidak ada komentar: