Senin, 15 September 2008

SOKOLA RIMBA

Judul Buku : SOKOLA RIMBA (Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba)
Pengarang : Butet Manurung
Penerbit : Insist Press
Tahun Terbit : 2007
Tebal : 250 halaman

“Eh, siapa bilang kamu gak boleh berpihak? Pendidikan harus berpihak! Kamu harus berpihak ke anak-anak itu. Kamu kan pendidik, bukan guru kursus!

Kalimat di atas menjadi penegas atas kebimbangan Butet Manurung pada model pendidikan yang selama ini ia jalankan bersama WARSI. Lembaga tempat butet menjadi tenaga pendidik bagi orang rimba (OR). Selama ini model pendidikan yang dibawanya masih mengusung isu konservasi hutan, tanpa memperdulikan apakah konteksnya sesuai dengan kebutuhan OR. Kegelisahan ini akhirnya memunculkan ide tentang model pendidikan yang kontekstual dan mampu mengakomodasi kebutuhan OR, ini juga yang menjadi langkah awal lahirnya SOKOLA RIMBA.

Berawal dari kecintaannya pada alam, butet memilih meninggalkan gemerlap kehidupan kota dan masuk pada belantara hutan Bukit Dua Belas yang terletak di Propinsi Jambi. Kondisi fisik dan penampilannya yang tidak meyakinkan sempat menuai sikap pesimis dari rekan-rekannya di WARSI, tetapi itu semua terpatahkan dengan semangatnya yang tinggi. Butet berangkat dari ketidaktahuan mencoba mengenal OR secara lebih dalam dengan cara tinggal dan hidup ditengah-tengah mereka.

Rombong sungai Tengkuyungon merupakan kelompok OR pertama yang ditemui oleh butet. Pertemuan awalnya dengan induk Terenong dan anak perempuannya, Bemulo telah memberikan gambaran jelas perbedaan antara kehidupan mereka. Bayangan butet tentang hutan yang rindang dengan pemandangan eksotis telah terpatahkan dengan fakta hutan yang ditemuinya tengah mengalami kerusakan. Akan tetapi fakta ini membawa penyadaran untuk lebih mencintai alam dengan segenap realitanya. Tak perduli apakah hutan itu indah, rindang, eksotis atau justru rusak akibat ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab.

Kelompok OR tersebar di kawasan bukit dua belas yang luasnya lebih dari 60.000 hektar. Bukit ini dipercayai sebagai tempat bersemayamnya dewa-dewa, setan maupun jin. Wilayah ini terdiri ada 3 Kabupaten (Batang Hari, Muaro Tebo, Sarolangun) dan dihuni sekitar 11 temenggung (kelompok OR). Masing-masing kelompok terdiri dari beberapa keluarga yang selalu berpindah-pindah. OR hidup dari alam, dan memanfaatkan seluruh potensi alam untuk menyokong kebutuhan hidup mereka. Mereka senantiasa hidup berdampingan dengan alam dan menggunakan sumberdaya secukupnya. Sistem barter masih berlaku ditengah kelompok OR, tetapi beberapa hasil hutan seperti rotan dan madu terkadang dijual ke pasar desa. Hanya saja OR masih sering tertipu, hasil penjualan produk mereka tidak sebanding dengan jumlah tetes keringat yang mereka keluarkan.

Ketidakmampuan mereka membaca dan menulis menjadi sebuah titik kelemahan yang jika tidak segera mereka sadari akan menghapus keberadaan mereka. Eksistensi mereka sebagai orang rimba akan hilang dengan perluasan proyek perkebunan dan penebangan hutan. Kehadiran WARSI sebagai lembaga yang fokus pada konservasi hutan membuka peluang pengenalan pada dunia pendidikan bagi OR. Hanya saja apa yang harus dilakukan dan konsep pendidikan seperti apa yang paling tepat untuk OR secara jelas belum ditemukan oleh butet hingga beberapa bulan keberadaannya di sana. Adanya anggapan OR bahwa mereka tidak butuh baca tulis mempersulit proses pendekatan butet terhadap OR, belum lagi adat istiadat yang tidak memperbolehkan mereka diajar oleh perempuan. Diawal-awal perjuangannya butet dituntut kreatif menggunakan segala cara agar bisa mendekati mereka, misalnya mengajar mereka bersepeda, mengusahakan pengobatan hingga memberikan pelajaran baca tulis secara sembunyi-sembunyi.

Besudu (15 tahun), Batu (13 tahun) dan Linca (14 tahun) adalah tiga anak OR yang menjadi murid pertama butet. Jumlah ini bertambah menjadi tujuh orang pada hari kedua dan berkurang kembali menjadi tiga orang anak pada hari ketiga. Daya tangkap masing-masing anak berbeda, ada yang unggul di pelajaran berhitung dan ada yang di pelajaran mengenal huruf. Butet harus menciptakan metode belajar sendiri yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan anak OR terutama dari segi kemampuan pengucapan dan pengejaan huruf yang berbeda dari suku lainnya. Berbagai metode belajar ditemukan dari proses belajar dan mengajar sehingga hubungan yang muncul adalah timbal balik. Guru tidak hanya sebatas guru dan murid tidak hanya sebatas murid, tetapi guru dan murid menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Dan ini yang tidak pernah ditemukan di sekolah-sekolah lainnya. Sekolah lebih cenderung mengdiskreditnya siswa sebagai obyek yang harus menerima seluruh ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru dan menerima hukuman apabila mereka tidak mampu menerimanya. Alasan ini juga mengapa anak-anak OR tidak mau bersekolah di desa, hukuman yang diberikan oleh guru kepada murid yang tidak patuh telah mencetak gambaran buruk tentang sekolah dibenak anak-anak OR.

Sokola Rimba yang didirikan oleh butet dan beberapa temannya semasa di WARSI merupakan satu-satunya sekolah yang mencitrakan pendidikan ala rimba. Sistem dan metode pendidikan yang fleksibel tetapi berorientasi pada pengembangan kualitas anak membuat anak-anak merasa nyaman. Tidak ada batasan terhadap aktivitas keseharian anak, mereka bisa bermain dan membantu keluarga tanpa terganggu oleh kegiatan belajar dan tak jarang ditemukan proses belajar berlangsung hingga malam hari. Beberapa kebiasaan seperti melempar buku kepada guru untuk diperiksa, menunjuk papan tulis dengan kaki atau mulut, dan belajar sambil tiduran adalah pemandangan yang tidak akan kita temukan di sekolah – sekolah formal.

Totalitas dan loyalitas pada mimpi untuk memberdayakan OR merupakan rangkaian perjuangan panjang. Tak hanya sebatas pada transfer ilmu pengetahuan tetapi mencoba untuk masuk lebih dalam yaitu menyadarkan OR akan potensi dan eksistensi mereka sebagai orang rimba yang hidup di hutan. Pekerjaan besar lainnya merubah ketergantungan hidup mereka terhadap hutan. Jika hutan sudah tidak ada, mereka akan hidup dimana? Apakah akan tinggal di rumah-rumah yang berdinding kayu dan menjadi petani seperti halnya orang desa? Atau mereka akan semakin terpinggirkan hingga akhirnya populasi OR akan punah karena ketikdakmampuan bertahan di alam yang sudah tidak lagi berpihak pada mereka.

Buku ini merupakan salah satu buku yang mampu menginspirasi dan menggugah ketersadaran kita lebih memaknai hidup. Memberi sesuatu dengan tulus tanpa mengharapkan mendapatkan keuntungan adalah hal terberat yang coba diterjemahkan oleh penulis. Mimpi untuk melakukan sesuatu mestinya tidak boleh berhenti sebelum mewujud menjadi sebuah kenyataan, tak terpenting berapa banyak uang, waktu dan pengorbanan yang telah kita habiskan untuk mengejarnya. Teruslah bermimpi, karena dengan bermimpi kebaikan demi kebaikan akan hadir dimuka bumi ini.