Senin, 15 September 2008

SOKOLA RIMBA

Judul Buku : SOKOLA RIMBA (Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba)
Pengarang : Butet Manurung
Penerbit : Insist Press
Tahun Terbit : 2007
Tebal : 250 halaman

“Eh, siapa bilang kamu gak boleh berpihak? Pendidikan harus berpihak! Kamu harus berpihak ke anak-anak itu. Kamu kan pendidik, bukan guru kursus!

Kalimat di atas menjadi penegas atas kebimbangan Butet Manurung pada model pendidikan yang selama ini ia jalankan bersama WARSI. Lembaga tempat butet menjadi tenaga pendidik bagi orang rimba (OR). Selama ini model pendidikan yang dibawanya masih mengusung isu konservasi hutan, tanpa memperdulikan apakah konteksnya sesuai dengan kebutuhan OR. Kegelisahan ini akhirnya memunculkan ide tentang model pendidikan yang kontekstual dan mampu mengakomodasi kebutuhan OR, ini juga yang menjadi langkah awal lahirnya SOKOLA RIMBA.

Berawal dari kecintaannya pada alam, butet memilih meninggalkan gemerlap kehidupan kota dan masuk pada belantara hutan Bukit Dua Belas yang terletak di Propinsi Jambi. Kondisi fisik dan penampilannya yang tidak meyakinkan sempat menuai sikap pesimis dari rekan-rekannya di WARSI, tetapi itu semua terpatahkan dengan semangatnya yang tinggi. Butet berangkat dari ketidaktahuan mencoba mengenal OR secara lebih dalam dengan cara tinggal dan hidup ditengah-tengah mereka.

Rombong sungai Tengkuyungon merupakan kelompok OR pertama yang ditemui oleh butet. Pertemuan awalnya dengan induk Terenong dan anak perempuannya, Bemulo telah memberikan gambaran jelas perbedaan antara kehidupan mereka. Bayangan butet tentang hutan yang rindang dengan pemandangan eksotis telah terpatahkan dengan fakta hutan yang ditemuinya tengah mengalami kerusakan. Akan tetapi fakta ini membawa penyadaran untuk lebih mencintai alam dengan segenap realitanya. Tak perduli apakah hutan itu indah, rindang, eksotis atau justru rusak akibat ulah tangan-tangan manusia yang tidak bertanggungjawab.

Kelompok OR tersebar di kawasan bukit dua belas yang luasnya lebih dari 60.000 hektar. Bukit ini dipercayai sebagai tempat bersemayamnya dewa-dewa, setan maupun jin. Wilayah ini terdiri ada 3 Kabupaten (Batang Hari, Muaro Tebo, Sarolangun) dan dihuni sekitar 11 temenggung (kelompok OR). Masing-masing kelompok terdiri dari beberapa keluarga yang selalu berpindah-pindah. OR hidup dari alam, dan memanfaatkan seluruh potensi alam untuk menyokong kebutuhan hidup mereka. Mereka senantiasa hidup berdampingan dengan alam dan menggunakan sumberdaya secukupnya. Sistem barter masih berlaku ditengah kelompok OR, tetapi beberapa hasil hutan seperti rotan dan madu terkadang dijual ke pasar desa. Hanya saja OR masih sering tertipu, hasil penjualan produk mereka tidak sebanding dengan jumlah tetes keringat yang mereka keluarkan.

Ketidakmampuan mereka membaca dan menulis menjadi sebuah titik kelemahan yang jika tidak segera mereka sadari akan menghapus keberadaan mereka. Eksistensi mereka sebagai orang rimba akan hilang dengan perluasan proyek perkebunan dan penebangan hutan. Kehadiran WARSI sebagai lembaga yang fokus pada konservasi hutan membuka peluang pengenalan pada dunia pendidikan bagi OR. Hanya saja apa yang harus dilakukan dan konsep pendidikan seperti apa yang paling tepat untuk OR secara jelas belum ditemukan oleh butet hingga beberapa bulan keberadaannya di sana. Adanya anggapan OR bahwa mereka tidak butuh baca tulis mempersulit proses pendekatan butet terhadap OR, belum lagi adat istiadat yang tidak memperbolehkan mereka diajar oleh perempuan. Diawal-awal perjuangannya butet dituntut kreatif menggunakan segala cara agar bisa mendekati mereka, misalnya mengajar mereka bersepeda, mengusahakan pengobatan hingga memberikan pelajaran baca tulis secara sembunyi-sembunyi.

Besudu (15 tahun), Batu (13 tahun) dan Linca (14 tahun) adalah tiga anak OR yang menjadi murid pertama butet. Jumlah ini bertambah menjadi tujuh orang pada hari kedua dan berkurang kembali menjadi tiga orang anak pada hari ketiga. Daya tangkap masing-masing anak berbeda, ada yang unggul di pelajaran berhitung dan ada yang di pelajaran mengenal huruf. Butet harus menciptakan metode belajar sendiri yang mampu mengatasi kesulitan-kesulitan anak OR terutama dari segi kemampuan pengucapan dan pengejaan huruf yang berbeda dari suku lainnya. Berbagai metode belajar ditemukan dari proses belajar dan mengajar sehingga hubungan yang muncul adalah timbal balik. Guru tidak hanya sebatas guru dan murid tidak hanya sebatas murid, tetapi guru dan murid menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi. Dan ini yang tidak pernah ditemukan di sekolah-sekolah lainnya. Sekolah lebih cenderung mengdiskreditnya siswa sebagai obyek yang harus menerima seluruh ilmu pengetahuan yang diberikan oleh guru dan menerima hukuman apabila mereka tidak mampu menerimanya. Alasan ini juga mengapa anak-anak OR tidak mau bersekolah di desa, hukuman yang diberikan oleh guru kepada murid yang tidak patuh telah mencetak gambaran buruk tentang sekolah dibenak anak-anak OR.

Sokola Rimba yang didirikan oleh butet dan beberapa temannya semasa di WARSI merupakan satu-satunya sekolah yang mencitrakan pendidikan ala rimba. Sistem dan metode pendidikan yang fleksibel tetapi berorientasi pada pengembangan kualitas anak membuat anak-anak merasa nyaman. Tidak ada batasan terhadap aktivitas keseharian anak, mereka bisa bermain dan membantu keluarga tanpa terganggu oleh kegiatan belajar dan tak jarang ditemukan proses belajar berlangsung hingga malam hari. Beberapa kebiasaan seperti melempar buku kepada guru untuk diperiksa, menunjuk papan tulis dengan kaki atau mulut, dan belajar sambil tiduran adalah pemandangan yang tidak akan kita temukan di sekolah – sekolah formal.

Totalitas dan loyalitas pada mimpi untuk memberdayakan OR merupakan rangkaian perjuangan panjang. Tak hanya sebatas pada transfer ilmu pengetahuan tetapi mencoba untuk masuk lebih dalam yaitu menyadarkan OR akan potensi dan eksistensi mereka sebagai orang rimba yang hidup di hutan. Pekerjaan besar lainnya merubah ketergantungan hidup mereka terhadap hutan. Jika hutan sudah tidak ada, mereka akan hidup dimana? Apakah akan tinggal di rumah-rumah yang berdinding kayu dan menjadi petani seperti halnya orang desa? Atau mereka akan semakin terpinggirkan hingga akhirnya populasi OR akan punah karena ketikdakmampuan bertahan di alam yang sudah tidak lagi berpihak pada mereka.

Buku ini merupakan salah satu buku yang mampu menginspirasi dan menggugah ketersadaran kita lebih memaknai hidup. Memberi sesuatu dengan tulus tanpa mengharapkan mendapatkan keuntungan adalah hal terberat yang coba diterjemahkan oleh penulis. Mimpi untuk melakukan sesuatu mestinya tidak boleh berhenti sebelum mewujud menjadi sebuah kenyataan, tak terpenting berapa banyak uang, waktu dan pengorbanan yang telah kita habiskan untuk mengejarnya. Teruslah bermimpi, karena dengan bermimpi kebaikan demi kebaikan akan hadir dimuka bumi ini.

Selasa, 09 September 2008

THE SECRET

Judul Buku : The Secret
Pengarang : Rhonda Byrne
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 236 halaman

“Sangatlah penting bahwa Anda merasa baik karena perasaan baik inilah yang terkirim ke luar sebagai sebuah sinyal ke Alam Semesta dan mulai menarik lebih banyak hal baik kepada Anda. Jadi, semakin Anda bisa merasa baik, semakin banyak Anda menarik hal-hal yang membantu Anda merasa baik, dan mampu membawa Anda semakin tinggi dan tinggi”.

Kalimat di atas merupakan salah satu rahasia yang diungkap oleh Rhonda Byrne dari kalimat DR. Joe Vitale, orang yang telah berhasil mempraktekkan prinsip-prinsip hidup yang selama ini masih menjadi sebuah rahasia. Tidak hanya DR. Joe Vitale, masih banyak orang terkenal lain seperti John Assaraf (anak jalanan yang menjadi pengarang buku terlaris internasional), Genevieve Behrend (guru awal metafisika spiritual dan pengarang buku), Morris Goodman (pria ajaib yang telah sembuh dari kecelakaan pesawatnya), yang telah menuai sukses dalam hidupnya karena mempraktikkan prinsip-prinsip The Secret.

Kegagalan dalam hidup terkadang telah membawa manusia pada keputusasaan dan kengganan untuk bangkit kembali. Tetapi lain halnya dengan Rhonda Byrne, berbagai cobaan hidup yang datang beruntun justru membawa sebuah berkah dan perubahan besar dalam hidupnya. Berkah ini berawal dari sebuah buku yang telah berusia ratusan tahun yang diberikan oleh putrinya. Buku ini telah menyingkap berbagai rahasia kehidupan, yang sebagian besar telah dipraktekkan oleh orang-orang ternama yang hidup pada zaman terdahulu. Penelusuran terhadap kebenaran isi buku tersebut telah menghadirkan sebuah realita bahwa sesungguhnya kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan selama kita mencoba memusatkan fikiran kita pada hal tersebut, yang kemudian dikenal dengan nama hukum tarik menarik.

Hukum tarik menarik adalah hukum alam, sama halnya dengan hukum gravitasi. Dan tidak ada pengeculian pada hukum tarik menarik, jika sesuatu datang pada kita, kitalah yang menariknya dengan fikiran berkepanjangan. Dan tidak seorangpun yang dengan sengaja menarik hal yang tidak diinginkannya, dengan mengetahui rahasia ini akan sangat memudahkan untuk memahami mengapa beberapa hal yang tidak diinginkan mungkin terjadi dalam hidup kita. Akan tetapi tidak seorangpun tahu apa yang dirasakan oleh orang lain, yang dapat dilakukan adalah menanyakan kepada diri sendiri apa yang sesungguhnya dirasakan dan sangat penting untuk mengetahui bahwa mustahil merasa buruk tetapi kita memiliki pikiran baik.

Ketika kita merasa buruk, yang kita butuhkan adalah pemindah rahasia. Kita dapat meminta pikiran kita untuk membawakan hal-hal yang bersifat baik (kenangan yang indah, alam, dan musik favorit) untuk menjadi fokus utama kita sehingga dengan sendirinya perasaan buruk akan berganti dengan perasaan baik. Ingatlah bahwa fikiran kita adalah penyebab utama dari segala sesuatu. Perasaan juga merupakan alat utama yang membantu kita menciptakan hidup. Dengan kata lain, perasaan-perasaan adalah komunikasi yang dikirim kembali ke kita oleh alam semesta. Segala sesuatu yang kita lihat dan alami di dunia ini adalah suatu akibat, termasuk perasaan-perasaan kita dan penyebabnya adalah pikiran-pikiran kita.
Perasaan cinta adalah frekuensi tertinggi yang bisa kita pancarkan, semakin besar cinta yang dipancarkan maka semakin besar kekuatan yang kita pergunakan. Cinta juga memberi kekuatan dinamis pada pikiran untuk berkolerasi dengan objeknya sehingga mampu mengendalikan setiap pengalaman buruk manusia. Ini adalah prinsip yang mendasar yang terdapat di segala hal, dalam sistem filsafat, agama dan ilmu pengetahuan. Tidak ada yang terlepas dari hukum cinta.

Meminta, percaya dan menerima adalah tiga langkah dalam proses penciptaan. Meminta adalah menyampaikan keinginan kita kepada alam semesta, berfikir saja sebenarnya juga sudah meminta. Percaya melibatkan bertindak, berbicara dan berfikir bahwa seakan-akan kita sudah menerima apa yang kita harapkan. Ketika kita memancarkan frekuensi menerima, hukum tarik menarik akan menggerakkan orang, peristiwa dan situasi kepada kita untuk menerima. Menerima melibatkan perasaan yang kita rasakan ketika permintaan kita terwujud. Merasa senang dan baik akan menempatkan kita pada frekuensi yang kita inginkan.

Ucapan syukur dipagi hari akan hadirnya hari baru adalah langkah awal untuk menciptakan hari sesuai dengan yang kita inginkan. Rasa syukur akan membawa energi kita selaras dengan energi-energi kreatif alam semesta, sehingga seolah-olah kita sudah menerima apa yang kita harapkan hari ini. Harapan-harapan inilah yang akan terwujud dalam kehidupan kita bersamaan dengan hadirnya perasaan dan pikiran-pikiran yang menyenangkan.

Sebagai bentuk ungkapan syukur atas keberhasilannya mempraktekkan prinsip The Secret, Rhonda Byrne berkeinginan untuk menyebarluaskan rahasia ini dengan harapan seluruh dunia akan mendapatkan kegembiraan. Tak lebih dari 10 orang yang sukses di seluruh dunia yang kemudian dipanggil guru oleh Rhonda menyumbangkan rahasianya untuk dituangkan dalam buku ini. Tidak hanya itu, Rhonda dan timnya yang terdiri dari guru, penulis, pelayanan umat, dan perancang kini menghadirkan The Secret dalam bentuk film. Film ini diharapkan dapat mempermudah pemahaman terhadap rahasia alam semesta, karena visualisasi akan membantu kita menciptakan gambar-gambar dalam benak kita. Gambar-gambar ini akan mewujud dengan dorongan energi keinginan yang kita sampaikan ke alam semesta.

Tulisan-tulisan dalam buku ini benar-benar mampu menarik pembaca untuk menggali pesan intinya. Banyak rahasia pencapaian yang patut diketahui oleh semua orang, terutama mereka yang menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya. Pembaca juga dimudahkan dengan adanya ringkasan-ringkasan setiap babnya, sehingga bab demi bab menjadi satu untaian pembelajaran yang inspiratif. Selain itu, buku ini sajikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca dari semua kalangan. kutipan-kutipan dari masing-masing penyumbang diambil sebagai kata kunci yang mudah diingat oleh pembaca.

Sebagai bahan perenungan, perlu diingat bahwa kebaikan atau keburukan yang kita alami dalam hidup ini tidak terlepas dari peran pikiran dan perasaan kita. Oleh karena itu, sudah saatnya kita memulai tahapan kehidupan yang baru dengan pikiran dan perasaan yang positif/menyenangkan. Halaman-halaman kehidupan kita patut ditulis dengan sejarah-sejarah yang mampu mengingatkan orang akan keberadaan kita. Pikirkan dan mintalah kebaikan, maka kebaikan akan selalu mengelilingi kita.

Sabtu, 06 September 2008

THE BURN JOURNALS "Mengapa Ingin Kuakhiri Hidupku"

Judul buku : The Burn Journals
Pengarang : Brent Runyon
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama

Kubawa jubah mandiku ke kamar mandi, lalu kutuangkan bensin sampai membasahinya. Kukenakan jubah itu menutupi bahuku, basah dan berat. Namun, baunya terasa menyenangkan, seperti sedang mengendarai mobil dalam suatu perjalanan jauh. Kupegang korek api di depanku, kunyalakan korek api itu...

Rangkaian kalimat di atas dituliskan Brent Runyon pada bagian awal bukunya yang berjudul The Burn Journals “Mengapa Ingin Kuakhiri Hidupku”. Buku yang menggambarkan usaha bunuh diri Brent dengan cara membakar tubuhnya, masa-masa dimana dia harus mengatasi trauma dan memutuskan untuk bangkit kembali. Buku tersebut diterbitkan pertama kali oleh PT Gramedia Pustaka Utama tahun 2006.

Brent, seorang remaja yang duduk di sebuah sekolah menengah di kota Falls Chuch Virginia, telah melakukan usaha bunuh diri berkali-kali. Memasukkan kepala kedalam gantungan tali yang digantungkan di lemari pakaiannya, menyayat urat nadinya dengan pisau, meminum dua puluh tablet pil Advil (obat flu dan batuk) dan yang terakhir membakar tubuhnya dengan bensin. Brent, sebenarnya anak yang imajinatif dan kreatif, tetapi tidak nyaman dengan kecerdasan intelektualnya yang diatas rata-rata. Brent lebih memilih menjadi anak yang agresif dan cenderung melanggar aturan.

Mencuri bekal di loker anak peremuan, menyalakan korek api dan membakar salah satu loker anak laki-laki adalah bentuk kenakalan yang dilakukan oleh Brent. Meskipun banyak hal lain yang dilakukannya mampu menginspirasi teman dan gurunya. Brent yang lucu, yang antusias yang mengembangkan ide-ide liar selalu menarik untuk diperhatikan. Akan tetapi kenakalan Brent menimbulkan perasaan kecewa dihati orang tuanya, mereka mengharapkan Brent menjadi anak yang cerdas dan memiliki prestasi yang membanggakan seperti halnya di awal-awal dia masuk sekolah menengah.

Kasus kebakaran di ruang ganti siswa laki-laki memberi kesan mendalam bagi Brent, ancaman pihak sekolah yang akan mengeluarkan pelakunya telah meruntuhkan pertahanan diri Brent. Meskipun dia tidak mengakui secara langsung bahwa dia adalah pelaku kejadian itu, Brent telah kehilangan kepercayaan dirinya. Bayangan betapa kecewanya orangtuanya membuat Brent mengambil keputusan yang frontal untuk menghakhiri hidupnya. Dia mengemasi seluruh barang yang ada dilokernya, memberikan kartus As Skop (simbol aliran kepercayaan yang dikembangkannya) kepada sahabatnya Stephen, dan dengan santai menyatakan bahwa dia akan bunuh diri. Hal yang sama yang disampaikan Brent kepada Craig, kakak laki-lakinya sebelum dia membakar tubuhnya di kamar mandi di rumahnya.

Harapan Brent untuk mengakhiri hidupnya ternyata kembali gagal, karena Craig mendapati tubuh adiknya yang terbakar. Petugas kesehatan segera melarikan tubuhnya adiknya yang menghitam ke rumah sakit terdekat, berjarak beberapa blok dari kantor ayahnya. 85 % tubuh Brent terbakar, hingga tidak punya cukup banyak kulit bagus untuk menutupinya. Brent harus berbaring, tidak dapat menggerakkan tubuh, tidak dapat berbicara dan harus bernafas dengan ventilator selama beberapa bulan karena paru-parunya mengalami infeksi dan kebocoran. Pergulatan dengan rasa sakit menjadi rutinitas yang harus dilalui Brent selama berada di rumah sakit anak Washington, DC. Butuh sepuluh kali operasi untuk mengembalikan fungsi organ tubuhnya yang mengalami kerusakan. Dan selama kurun waktu tujuh bulan menjalani perawatan Brent selalu ditemani oleh kedua orangtuanya.

Banyak kisah menarik yang coba dituliskan Brent ketika dia menjalani perawatan di rumah sakit anak. Salah satunya tentang Maggie, anak yang mengalami kejadian yang sama pada hari yang sama dengan kejadian yang dialami Brent memberi kisah tersendiri. Setiap hari ibunya selalu membawa cerita tentang Maggie, hingga suatu malam orang-orang beteriak code blue di kamar Maggie. Tepat dimalam Brent bertemu dengan malaikat yang melayang-layang dilangit-langit kamarnya, malaikat yang akan menjemput orang yang bukan dirinya, dan keesokan harinya Maggie meninggal.

Dukungan dari berbagai pihak turut membantu proses pemulihan kondisi fisik dan mental Brent. Para sahabatnya disekolah selalu mengirimkan rekaman video kegiatan disekolah sehingga Brent merasa sedang berada di sana, begitu juga para perawat dan dokter di rumah sakit anak. Telepone dari Magic Jhonson, kartu ucapan dari Gedung Putih adalah rangkaian hadiah kejutan yang diterima oleh Brent. Tetapi yang paling istimewa adalah ungkapan kasih sayang yang disampaikan oleh kedua orangtuanya yang begitu tulus, bukan hal yang biasa seperti yang sebelumnya dia rasakan. Kasih sayang ini yang telah mengembalikan kepercayaan diri Brent dan memupuk kembali harapan untuk menjalani hidup dengan baik. Tidak ada lagi ketakutan tidak bisa membanggakan kedua orangtuanya, karena orangtuanya tetap mencintainya.

Dalam buku ini, Brent menggambarkan begitu jelas tentang situasi yang dialaminya, mulai dari situasi ketika dia mengalami pergolakan jiwa yang berakhir dengan keputusan untuk bunuh diri. Kemudian kita diajak untuk menyusuri unit luka bakar di rumah sakit anak, bagaimana dia mengalami transplantasi kulit yang begitu menyakitkan. Unit pemulihan untuk mengikuti beragam terapi yang dia ikuti, mulai dari terapi fisik, terapi gerak dan terapi psikologis yang itensif. Hingga akhirnya kita diajak pulang kerumah, untuk menyusuri rangkaian perjalanan yang telah dilalui sebelum tragedi yang telah mengubah hidupnya itu terjadi.

Brent begitu apik menceritakan kisah hidupnya, merangkainya menjadi untaian kalimat yang mampu membuat pembaca menjadi larut di dalamnya. Buku ini juga mampu membangkitkan ketersadaran pembaca bahwa hidup adalah sesuatu yang sangat berharga dan patut untuk disyukuri, seperti apapun keadaan kita.

Jumat, 05 September 2008

EDENSOR

Judul buku : EDENSOR
Penulis : Andrea Hirata
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Penerbit : PT. Bentang Pustaka

Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis dan sporadic, namun setiap elemennya adalah sub system keteraturan dari sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal kecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tidak terbantahkan.


Rangkaian kata di atas di kutib oleh Andrea Hirata dari pemikiran Harun Yahya yang dijadikannya sebagai kalimat pembuka pada buku yang berjudul Edensor, buku ketiga dari tetralogi laskar pelangi. Tetralogi laskar pelangi menceritakan rangkaian perjalanan seorang anak yang bernama “ikal” dan sekelompok teman masa kecilnya yang memiliki mimpi dan berjuang untuk memujudkannya. Keterbatasan ekonomi, jarak dan akses terhadap layanan pendidikan tidak memupus semangat mereka untuk bisa bersekolah, tak perduli seberapa besar rintangan yang akan mereka lalui. Pada akhirnya hanya dua orang anak yang tersisa, yang masih tetap berjuang mewujudkan mimpi untuk menaklukkan samudra kehidupan.

Andrea Hirata adalah penulis muda yang tidak memiliki latar belakang jusnalistik tetapi memiliki kemampuan untuk menguak berbagai realita kehidupan dan menyarikannya menjadi sebuah tulisan yang apik dan mampu menggugah ketersadaran nurani setiap pembacanya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada Mei 2007 oleh PT. Bentang Pustaka, telah menjadi best seller Indonesia dan terdapat hampir diseluruh toko-toko buku di Indonesia.

Edensor mengulas tentang perjalan hidup Andrea dan Arai, saudara sekaligus teman seperjalanannya yang telah melalui banyak episode kehidupan, suka maupun duka.
Pertemuannya dengan Weh, lelaki yang harus menanggung aib karena menderita penyakit burut, penyakit nista yang disebabkan oleh ulah nenek moyangnya yang telah berani melanggar aturan agama. Weh yang telah mengajarkannya cara membaca bintang, mengurai langit sebagai kitab terbentang serta membawanya pada satu pemahaman tentang konstelasi zodiak. Zenit dan nadir, pesan terakhir yang ditinggalkan Weh sebelum kematiannya. Weh adalah orang pertama yang telah mengenalkan Adrea pada diri sejatinya, dan telah menguatkan tekat Andrea untuk menjelajahi separuh belahan dunia, berjalan di atas tanah-tanah mimpi, dan menemukan cinta yang sesunguhnya. Pelajaran yang tidak akan ditemukan di bangku pendidikan formal, karena hanya kekuatan semesta yang mampu menguak realita kehidupan.

Tawaran beasiswa dari Uni Eropa telah menjadi sebuah jembatan keberuntungan (magical bridge) yang menghantar mereka pada penjelajahan panjang di tanah-tanah mimpi, menjadi sebuah kunci yang telah membuka kotak pandora yang berisi mimpi-mimpi masa kecil mereka. Sebuah kerinduan untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahiran, memberikan kebanggaan bagi orangtua dan menyelesaikan mimpi-mimpi para sehabat yang telah terenggut oleh keterbatasan dan jerat kemelaratan.

Universitas Sorbonne Perancis, telah menghantar mereka pada pertemuan dan persahabatan dengan mahasiwa dari berbagai belahan dunia dengan beragam latar belakang. Kehidupan bangsa eropa yang terkenal intelektual, dinamis dan efisien telah menunjukkan pada berbagai realita betapa rendahnya kualitas serta sistem pendidikan bangsa Indonesia. Hanya semangat dan tekad yang kuat yang mampu menghantar mereka pada sebuah keberanian untuk menjadi bagian dari sistem pendidikan yang modern. Kesenjangan tingkat pemahaman dan pengetahuan mengharuskan dua sobat karib ini berjuang untuk menyelesaikan pendidikan mereka.

Keindahan benua eropa dan gemerlapnya dunia malam kota Paris memberikan daya tarik bagi siapapun yang melihatnya. Namun, tradisi dan etika back packer Kanada sangat menarik perhatian Andrea bahkan lebih menarik dibadingkan Katya. Mahasiswi jerman yang telah menolak cinta banyak pemuda dan memilih Andrea menjadi kekasihnya. Meskipun pada akhirnya perbedaan makna tentang mencintai telah membawa mereka kembali pada jalinan pertemanan. Kerinduan Andrea pada A Ling, perempuan masa kecil yang sangat dicintainya telah menguakkan kembali ingatannya tentang Edensor. Sebuah desa khayalan pada sebuah novel pemberian A Ling, karya Herriot yang berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara.

Hamparan dataran hijau, bunga daffodil dan semerbak aroma rerumputan telah membawa andrea bekelana ke setiap sudut desa. Desa khayalan yang telah membuka jalan rahasia dalam kepala Andrea, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar untuk menemukan A Ling, untuk menemukan cinta dan diri sejatinya. Andrea dan Arai berencana untuk melakukan perjalanan keliling benua Eropa mengikuti tradisi para pengelanan back packer Kanada. Rencana perjalanan panjang ini mendapat respon yang serius dari para sahabat, yang akhirnya dijadikan sebagai ajang pertaruhan untuk mengukur keberanian untuk menahklukkan tantangan. Penjelajahan panjang menjelajahi benua eropa dengan bermodal semangat dan keberanian.

Perjalanan dimulai dari kota Paris Perancis melintasi benua Eropa dan berakhir di Spanyol. Pencarian Andrea akan cinta masa kecil telah membawa mereka melintasi rute perjalanan yang panjang melintasi benua Eropa hingga Tunisia, Zaire dan Casablanca di benua Afrika. Rasa lapar, kelelahan serta ancaman kematian karena kedinginan tidak menyurutkan semangat dan keberanian Andrea untuk menjelajahi enigma tentang A Ling yang kini menjadi semakin terang.

Kota demi kota menghadirkan beragam realita yang semakin memperjelas makna pencarian Andrea. Sekuat apapun upaya untuk menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya tersebut masih belum berhasil sesungguhnya kita sedang dihadapkan pada berbagai realita tentang diri kita. Pencarian cinta pada sosok perempuan bernama A Ling telah memberikan pembelajaran tentang makna cinta sejatinya, yaitu diri sendiri. Keberanian untuk bermimpi telah menghantar kita pada satu realita yang mengajarkan kita arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Edensor, membawa kita pada perjalanan yang tidak hanya membawa kita pada tempat-tempat yang spektakuler, tidak hanya memberi kita tantangan ganas yang menghadapkan pada cinta putih, tetapi mampu membawa kita pada satu kesadaran kesejatian diri manusia. Toleransi, daya tahan dan integritas bukanlah hal yang dapat ditawar-tawar dalam keadaan apapun. Dibutuhkan semangat, kemauan dan daya juang tinggi untuk menghidupi setiap mimpi hingga mewujud dalam sebuah realita kehidupan.

Yang Mengakar Yang Menjalar

“Beta berfikir, pengorganisasian rakyat adalah seni. Seni yang memberi ruang untuk memahami realitas sosial yang sesungguhnya serta seni untuk belajar dan merefleksikan hidup dan kehidupan secara langsung dari rakyat. Seni untuk menenangkan jiwa dan mendapatkan kepuasan batin. Pengorganisasian rakyat juga dapat menciptakan seorang organizer untuk memahami lebih dalam lagi tentang konteks-konteks kemanusian (humanis)”.

Rangkaian kalimat tersebut dituliskan oleh Samson Atapary pada bagian akhir buku Yang Mengakar Yang Menjalar terbitan Insist Press. Buku ini berisi rangkaian perjalanan para Community Organizer (CO) yang telah melakukan pengorganisasian masyarakat di beberapa daerah di tanah air. Tujuh dari delapan CO ini adalah alumni dari sekolah Involvement (Indonesia NGO Volunteers for Social Movement) Insist Jogjakarta. Buku ini menyampaikan pesan kepada kita betapa pentingnya mendokumentasikan proses pengorganisasian, tidak sekedar membantu kita untuk keluar dari persoalan keterbatasan daya ingat kita, tapi juga mempermudah kita melakukan evaluasi terhadap keseluruhan proses pendampingan yang telah kita lakukan. Selain itu, dokumentasi ini akan menjadi jembatan komunikasi bagi mereka yang berada di lapangan (para CO) dengan mereka yang berada di kantor (tim manajemen).

Buku ini tidak hanya bercerita tentang kisah sukses yang telah diraih oleh para CO. Kegagalan dari proses pengorganisasian turut tergambar jelas di buku. Proses pendampingan masyarakat dari yang tidak tahu menjadi tahu, memang memberikan kebanggaan tersendiri bagi seorang CO. Hanya saja jika seorang CO tidak mampu mengorganize masyarakat dalam hal ini pada kader di tingkat masyarakat, maka akan bermunculan para kader yang memiliki kapasitas tetapi tidak terpimpin. Artinya, masyarakat yang selama ini tidak tahu, setelah mendapat pembekalan dari para CO merasa sudah setara kemampuannya dengan para CO. Tidak jarang beberapa diantara mereka tergilincir dari tujuan awal, orientasi mereka berubah. Pelibatan masyarakat secara aktif dalam berbagai proses pendampingan harus dibekali dengan pemahaman yang mendalam tentang konsep permberdayaan yang seutuhnya.

Kisah-kisah pengorganisasian yang dituliskan oleh para CO berlatar pada beragam dinamika kehidupan masyarakat. Solichul Hadi, membawa kita masuk pada dataran kehidupan masyarakat Air Hitam di Buntok, Kalimantan Tengah. Negeri yang kaya akan sumberdaya alam, adat-istiadat dan budayanya. Proses pendampingan masyarakat di wilayah ini telah melahirkan sebuah Perdes yang digagas sendiri oleh masyarakat. Sementara itu, Dony Hendro membawa kita kembali pada kenangan sejarah Ramiteks Berdarah yang terjadi pada tahun 1999 di Kota Magelang, di mana advokasi buruh menjadi fokus utamanya. Aksi besar yang melibatkan hampir sekitar 400 orang buruh pabrik yang menuntut perbaikan kesejahteraan kaum buruh membekas di ingatan kita, penculikan, teror sampai dengan kerusuhan berdarah menjadi bagian dari proses pendampingan yang dilakukan oleh para CO di wilayah ini.

Sedangkan Yandi Nurhayandi dan M. Nur Makkah membawa kita pada carut marut kehidupan kota metropolitan Jakarta, yang banyak menyimpan cerita kusam di tengah kehidupan masyarakatnya, pembangunan yang bersifat makro membuat masyarakat terpinggirkan. Alih-alih pembangunan memberikan perbaikan terhadap kondisi perekonomian, masyarakat bawah malah semakin termarginalkan. Marginalisasi yang dialami oleh masyarakat tidak hanya berdampak pada penggusuran tempat tinggal, tapi hak-hak sipil dan politik masyarakat turut terdiskriminasikasikan. Kehadiran para CO dari beragam LSM mencoba mendorong semangat perlawanan masyarakat untuk keluar dari kungkungan kemiskinan.

Pada akhir buku ini, Samson Atapary menuangkan sejarah pendampingan masyarakat Banjar pade yang terletak di desa adat tertua Teganan, Bali. Teganan menjadi kota yang paling ramai dikunjungi oleh turis lokal dan mancanegara karena ketradisionalan serta kekayaan adat istiadatnya. Analisis sosial yang dilakukan oleh Simon menunjukkan bahwa masalah utama yang dihadapi masyarakat Teganan adalah semakin melemahnya aturan-aturan adat dan eksistensi dari lembaga-lembaga adat yang tidak memainkan fungsinya dengan baik untuk mengontrol sistem sosial, hukum, politik, dan tata ruang desa adat Teganan. Hal ini terjadi karena intervensi yang dilakukan oleh pihak pemerintah dan kepentingan kelompok tertentu. Reaksi pemisimis masyarakat selalu menjadi bagian dari proses pengorganisasian, akan tetapi dialog intens dan peningkatan kapasitas warga mampu meningkatkan kesadaran kritis masyarakat, sehingga isu-isu sentral masyarakat terpetakan.

Rangkaian catatan proses pendampingan masyarakat yang telah dilakukan oleh kedelapan orang penulis, disajikan dengan bahasa yang mudah dipahami. Tidak kaku, atau terikat dengan etika jurnalistik. Tulisan ini juga bisa dijadikan rujukan bagi para CO. Proses pendampingan masyarakat memang adalah sebuah seni, seni untuk memahami esensi kemanusian yang hakiki.

Buku ini tidak hanya mengajarkan kepada kita betapa pentingnya mendokumentasikan seluruh proses pendampingan yang selama ini telah kita lakukan, tapi juga pendokumentasian seluruh proses perjalanan hidup kita. Dengan membaca kembali seluruh catatan perjalanan kita, dengan mudah kita bisa mengidentifikasi titik kelemahan kita dan kemudian bisa mentukan langkah strategis untuk mengantisipasinya. Buku ini juga mengajarkan kita untuk sabar dan mengikuti keseluruhan proses secara perlahan, tidak ada proses pemberdayaan masyarakat yang terwujud dalam waktu yang singkat. Untuk itu sangat penting bagi kita para CO untuk menjaring kemitraan dengan berbagai pihak, terutama mereka yang memiliki tujuan yang sama yaitu kemandirian masyarakat.